Langkah

Tatap matanya kosong. Raut wajahnya datar tanpa segaris ekspresi pun. Tapi dari kedalaman bola matanya terlihat begitu jelas betapa berat beban yang sedang melanda hidupnya hari ini. Ya, hari ini adalah titik balik kehidupannya. Semuanya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam satu hari.

Beberapa orang bertubuh tinggi besar dengan otot lengan seperti binaragawan dan wajah mereka layaknya anjing-anjing yang dibiarkan tidak makan berhari-hari, begitu beringas, lalu-lalang sambil mengangkuti semua barang-barang berharga miliknya, melewati ia yang berdiri menyaksikan mereka. Tak berdaya.

Ia masih berdiri di sana. Tanpa istri dan anaknya. Padahal kemarin, istrinya masih begitu mencintainya, juga anaknya masih menyayanginya. Baru kemarin istrinya mendaratkan kecupan mesra di pipinya sesaat setelah pulang dari membeli kalung berlian seharga ratusan juta rupiah. Baru kemarin juga anaknya memeluk ayahnya begitu hangat sesaat setelah kuda besi dan mobil dua pintu keluaran terbaru seharga miliaran rupiah terparkir di depan rumah mereka.

Ia sendirian sekarang. Ia menunggu. Tapi ia tak tahu apa yang sedang ditunggunya. Istri dan anaknya tak mungkin kembali. Sejak pagi mereka sudah pergi meninggalkan ia bersama orang-orang yang tingginya hampir 2 meter itu. Istri dan anaknya pergi bersama lelaki simpanan istrinya. Seorang duda yang tak kalah kaya.

Ia masih berdiri di sana. Seperti patung, bergeming, tak bergerak barang satu jengkal pun.

Pikirannya melayang menyusuri sebuah lorong ingatan yang menampakkan semua yang pernah ia lewati dalam hidupnya. Kembali terlintas awal dari semua ini. Terbayang kembali masa muda yang ia habiskan dengan mempertaruhkan harta orangtuanya, harta saudara-saudaranya, harta keluarganya di atas meja judi. Ia tak pernah peduli ibunya sakit keras dan tak pernah punya uang untuk berobat. Semuanya ia pertaruhkan melalui kartu-kartu bersimbol dan berangka. Bahkan saat ia menang dan bergelimang harta pun, tak sedetik pun ia teringat akan ibunya yang sekarat karena ulahnya. Hingga ibunya menghembuskan nafas terakhir, ia tetap tidak peduli. Ia lebih mementingkan harta ketimbang keluarganya.

Bertahun-tahun ia tenggelam, mengundi nasib dari satu meja ke meja lain. Tapi ia selalu beruntung, ia lebih sering menang, bahkan hingga hartanya menembus angka miliaran. Dan dengan uang panas itu, tak ada satu pun yang tidak bisa ia beli. Malam-malamnya ia habiskan di kamar hotel berbintang lima dengan perempuan-perempuan yang ia bawa dari tempat-tempat prostitusi kelas atas.

Hingga akhirnya ia terpaksa harus menikahi salah satu dari mereka yang mengaku telah mengandung anak dari dirinya. Mereka adalah anak dan istrinya sekarang. Tapi pagi ini, sebelum meninggalkan rumah, istrinya mengungkapkan satu fakta bahwa anak yang selama ini ia anggap buah hatinya, bukanlah benar-benar darah dangingnya. Satu hal yang mungkin begitu ia sesali. Tapi untuk apa ia menyesal sekarang? Semuanya sudah terjadi.

Ia juga kembali teringat saat-saat ia mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Ia gunakan uang panas hasil kerja kerasnya berjudi selama ini untuk mendanai kampanye gelapnya: money politic. Dan ia pun berhasil mendapatkan kekuasaan yang ia inginkan. Kekuasaan yang sejak awal memang diniatkannya untuk memperkaya diri sendiri. Ia curi semua uang rakyat yang telah memilihnya.

Ia menjadi tikus kantor. Koruptor.

Hingga sampai pada pagi ini, semuanya seolah-olah diambil kembali darinya. Tak ada satu rupiah pun yang berhak ia miliki. Semua keberuntungannya terhenti. Ia kalah besar-besaran di meja judi tadi malam. Pagi ini, semua harta yang ia pertaruhkan, diambil paksa.

Kasus korupsinya yang beberapa hari terakhir telah mengisi media-media pemberitaan nasional, hanya menunggu waktu saja untuk bergulir ke persidangan tindak pidana korupsi. KPK sedang mengumpulkan bukti untuk menjeratnya. Tapi bagaimana ia akan mengganti semua uang negara yang telah ia ambil? Bahkan pakaian yang ia kenakan sekarang pun, bukan lagi miliknya.

Apa lagi yang tersisa?

Uang panas yang sudah mengalir di dalam darahnya, menyatu dengan dagingnya, berdetak bersama jantungnya itu, mulai membakar kehidupannya. Menghanguskan semuanya sampai tak ada lagi yang bisa ia sisakan untuk melanjutkan hidupnya.

Rumah ini sudah kosong sekarang, barang-barang berharga miliknya telah diangkut semuanya. Rumah ini sekarang hanya seonggok bangunan tanpa isi yang juga bukan lagi miliknya.

Ia masih menatap kosong. Kemudian tangan-tangan kekar mencengkeram tubuhnya. Menyeretnya ke luar pagar. Memaksanya menyerahkan semua pakaian yang ia kenakan. Baju mahalnya, celana necisnya, sepatu kulit buayanya. Semua bukan lagi miliknya. Hanya celana pendek yang menutupi tubuhnya sekarang. Panas matahari pagi mulai menjalari sekujur kulit tubuhnya. Ia tak tahu harus ke mana sekarang. Keluarganya mungkin sudah tidak sudi lagi mengenalnya. Teman-temannya juga tak akan mau membantunya dalam keadaannya yang seperti ini.

Langkah yang telah ia pilih bertahun-tahun yang lalu, telah membawanya pada titik ini. Langkah yang mungkin tak pernah terpikir olehnya akan berakhir pada ujung jalan ini, yang membuat ia harus melangkah lagi, tapi tanpa tahu harus ke mana ia melangkah.

Ia tanpa arah.

Kakinya yang gontai mulai ia langkahkan, entah hendak menuju ke mana. Ia tak lagi memikirkan akan ke mana arah langkah-langkahnya itu. Ia hanya melangkah. Dan ia terus melangkah. Hingga ia hilang ditelan mentari yang semakin terik.

21 komentar

  1. Shafira Meutia · · Balas

    Putra, ini untuk PR poetica yah?
    Bagus, Put.

    1. Iya, mbak 😀
      Ditunggu ya PR nya mbak :p

  2. Mantep! Kapan2 kolab kyk gini yuk *efek barca kalah

    1. Shafira Meutia · · Balas

      Aku gak bisa neh, ada yg ngajak kek.
      Eh, barca kalah yah. *tabur bunga* 😀

      1. bukan kalah, tapi terbantai mbak :p

    2. eaaaa, yuk yuk 😀
      kemaren udah diajakin nulis gini yg bertiga sama dyaz, tapi gak mau :p

      1. Kita threesome yg laen aja puput.. misalnya pake bhs pemograman gt.. wkkwkw..

          1. Shafira Meutia · · Balas

            Eh boleh jg pake bahasa pemrograman. *udh brp tahun yah gak bikin program?

            1. Gimana itu tulisan pake bahasa program mbak 😐

              1. Bisalah.. aku kemaren udah blajar soalnya.. haha

                1. Nah, bikinlah sama mbak indah tuh, aku udah lupa bahasa pemrograman 😦

                  1. Masa kamu lupa bahasa pemograman cinta yang kmu ajarin sama aku sih puput?? Hahaha

                    1. #eh
                      cinta itu apa? aku kok lupa ya 😐

  3. A. Abdul Muiz · · Balas

    Mangstab. Aku lho nggak pernah bikin yang berbau politik kek gini. Syusyah. 🙂

    1. gak 100% politik ini, am. lebih fokus ttg uang panasnya sih sebenernya 😀

  4. fiuuhh… bentar put, daku tarik napas dulu dalem2 dan bilang…
    INI KEREEEENNN!!!
    ebeneran deh, saya selalu ngepens sama orang2 yg bisa bikin tulisan di ranah politik atau sosial, matjam kamu dan mbak lia misal. 🙂
    I love how you describe the character too. dan kata2 bermajasnya yang simpel tapi okee… ini cocok sama penempatannya.
    keep writing put!

    1. Makasih apresiasinya, Rin 🙂
      Ini sambil belajar juga, penginnya sih bisa bikin tulisan kaya diksi seperti tulisanmu 😀
      Tapi harus belajar lebih banyak lagi deh 🙂

  5. yonghaevy · · Balas

    tulisannya keren kak :))

    1. terima kasih sudah mampir ya 🙂

      1. yonghaevy · · Balas

        iyaaa kak ^^

Tinggalkan Balasan ke Masya Batalkan balasan