Tiga Puluh September Satu Tahun Lalu

Tepat satu tahun yang lalu, tiga puluh September dua ribu tiga belas, ketika detak jarum jam baru saja membalik hari. Masih melekat jelas di ingatanku, betapa dinginnya udara malam yang berembus di teras Bandara Soekarno-Hatta itu sukses menembus pertahanan jaket kulitku.

Kala itu aku baru saja selesai mengikuti workshop selama dua hari yang diadakan oleh penerbit nomor wahid di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama atau GPU. Ada dua hal yang kukorbankan untuk mengikuti workshop yang sekaligus menjadi seleksi tahap final dari event Gramedia Writing Project itu. Pertama, aku melepaskan kesempatan untuk berlibur bersama anak-anak Kaskus Regional Palembang ke salah satu pulau wisata di Lampung. Kedua, aku melewatkan acara yang selama satu bulan sebelumnya telah aku dan beberapa temanku rencanakan: MalamPuisi Palembang edisi perdana. Sebagai salah satu penggagas lahirnya MalamPuisi di Palembang, alangkah sedihnya tak bisa hadir di pergelarannya yang pertama.

Tapi aku mengenal apa yang orang-orang sebut sebagai skala prioritas. Liburan bisa kulakukan kapan-kapan, dan MalamPuisi Palembang pun nantinya akan rutin diadakan setiap bulan. Sedangkan Gramedia Writing Project ini mungkin hanya akan mampir satu kali sepanjang hidupku, dan ada satu kesempatan lain yang kukejar di sana: menerbitkan buku dengan lambang penerbit GPU.

Sebenarnya ketika itu ada satu hal lagi yang memberatkanku untuk bertolak dari Palembang ke Jakarta, yaitu pengumuman kelulusan tes tahap kelima di salah satu perusahaan BUMN yang sedang kuikuti belum juga muncul. Di pikiranku berkecamuk kemungkinan-kemungkinan mengerikan, salah satunya, bagaimana kalau tes tahap keenam dari rangkaian tes itu berbarengan dengan jadwal workshop di Gramedia. Tapi nyatanya, perkiraanku meleset satu hari.

Workshop Gramedia Writing Project selesai tanggal 29 September, dan jadwal tes tahap keenam adalah keesokan harinya, tanggal 30 September siang. Maka dengan tergesa aku mencari tiket pesawat untuk pulang malam itu juga, tapi hasilnya cuma dapat tiket untuk penerbangan pertama tanggal tiga puluh. Dan terjadilah aku menumpang tidur di teras bandara sambil memeluk ranselku sendiri.

Malam itu suasana teras bandara tak bisa dikatakan sepi, pun tak layak disebut ramai. Di tengah lalu-lalang orang-orang yang mungkin akan berpindah pulau esok hari itu, aku tak bisa benar-benar tertidur. Dalam pejam yang seharusnya membawaku semakin tenggelam dalam lelah, aku justru mengenang kembali bagaimana aku bisa sejauh ini hanyut dalam dunia menulis. Ah, terlalu banyak yang harus diceritakan, mungkin lain kali akan kulanjutkan kisah tentang terseretnya aku dalam dunia yang sebelumnya begitu asing bagiku ini.

Ini postingan pertama setelah berbulan-bulan kubiarkan blog ini tanpa penghuni, maafkan segala ke-random-an dan keabstrakan yang terjadi di sini, aku hanya ingin memulai kembali apa yang telah lama kutinggalkan.

Salam.

Tulis Komentar